23 Oktober 2017
---
"Yasudah nduk, gapapa. Jangan sedih terus begitu. Toh kamu perempuan" ujar beliau saat itu, masih berupaya menenangkanku yang sedang merasa terpukul oleh keadaan.
Aku hanya mengangguk, sambil sesekali mengusap air mataku yang ntah kenapa rasanya sulit sekali untuk berhenti saat itu.
Sesungguhnya, mendengar wejangan itu membuat separuh dari perasaanku menjadi tenang. Seakan membuatku kembali ingat bahwa kewajibanku nanti sebagai perempuan adalah untuk taat pada suami dan menjadi madrasah utama bagi salih dan salihah ku kelak.
Tapi, ada satu suara kecil yang mengusik ketenanganku saat itu. Suara suara yang munculnya dari salah satu sudut hatiku. Suara suara yang sedang berusaha untuk berontak, berusaha ingin sedikit membantah pendapat tersebut. Suara suara yang menganggap bahwa aku, perempuan, mempunyai hak yang sama untuk bermimpi menjadi hebat.
Namun yang bisa ku lakukan saat itu hanya terdiam. Sambil menikmati pertempuran yang terjadi dalam batin dan pikiranku. Sebagian dari aku menyangkal bahwa bukan berarti mau melawan ajaran agama, hanya saja aku merasa punya hak yang sama. Sedang sebagian dariku yang lain berteriak bahwa apalah yang perlu ku kejar dari dunia yang segalanya hanya berisi fana ini.
Sebelum perdebatan batinku semakin menjadi, ku pilih untuk menlangkahkan kaki. Mencoba menenangkan diri. Kembali mengadu pada Sang Illahi. Berusaha pasrah agar dituntun mendapat jalan yang memang di ridhoi.
---
Surabaya, malam selepas hujan
Comments
Post a Comment